Bank DBS Ungkap 5 Tren Utama yang Membentuk Arah Pembiayaan Berkelanjutan Saat Ini
Bank DBS memetakan lima tren global yang tengah membentuk arah pembiayaan berkelanjutan, mulai dari investasi hijau hingga transisi energi bersih, yang dinilai akan menentukan masa depan ekonomi dunia.
Bank DBS memetakan lima tren global yang tengah membentuk arah pembiayaan berkelanjutan, mulai dari investasi hijau hingga transisi energi bersih, yang dinilai akan menentukan masa depan ekonomi dunia.
Dalam laporan terbarunya, DBS Sustainability Trends 2025, Bank DBS menyoroti bahwa pergeseran paradigma keuangan global kini tidak lagi hanya berfokus pada profit, tetapi juga pada dampak sosial dan lingkungan. Pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) menjadi fondasi baru bagi ekonomi yang resilien dan bertanggung jawab terhadap perubahan iklim.
1. Transisi Energi sebagai Pusat Investasi Baru
Laporan DBS menempatkan transisi energi sebagai tren paling dominan. Negara dan korporasi kini berlomba mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan seperti surya, angin, dan hidrogen hijau.
Indonesia, misalnya, memiliki potensi besar dalam proyek transisi energi melalui kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar. Bank DBS menilai langkah ini bukan hanya penting untuk dekarbonisasi, tapi juga membuka lapangan kerja baru dan investasi lintas sektor.
2. Pembiayaan Hijau yang Semakin Inklusif
Pembiayaan hijau (green financing) kini tidak hanya menyasar korporasi besar, tetapi juga UMKM dan sektor publik. Melalui skema obligasi hijau (green bonds) dan pinjaman berkelanjutan, pelaku usaha kecil mulai mendapat akses pendanaan yang berorientasi lingkungan.
Bank DBS sendiri telah menyalurkan lebih dari SGD 65 miliar pembiayaan berkelanjutan secara kumulatif hingga 2024, dan menargetkan pertumbuhan 30% di sektor energi terbarukan dan efisiensi industri.
3. Teknologi dan Data sebagai Penggerak ESG
Digitalisasi menjadi katalis penting dalam mendorong efektivitas pembiayaan hijau. Penggunaan AI, big data, dan blockchain kini dimanfaatkan untuk menilai dampak ESG (Environmental, Social, and Governance) secara real time.
Bank DBS memperkirakan, dalam dua tahun ke depan, perusahaan yang mengadopsi teknologi ESG analytics akan lebih mudah memperoleh akses pembiayaan karena transparansi dan akuntabilitasnya meningkat.
4. Peran Investor Muda dalam Pembentukan Tren
Generasi milenial dan Gen Z kini menjadi kekuatan baru dalam dunia investasi. Data DBS mencatat, lebih dari 60% investor muda di Asia Tenggara menempatkan prinsip keberlanjutan sebagai faktor utama dalam keputusan investasi mereka.
Tren ini mendorong lembaga keuangan untuk menyediakan instrumen investasi hijau yang tidak hanya menguntungkan, tapi juga berdampak sosial positif.
5. Regulasi dan Kolaborasi Regional
Kebijakan pemerintah dan kerja sama lintas negara menjadi kunci percepatan transisi keuangan hijau. Di ASEAN, kolaborasi antara otoritas keuangan mulai mengarah pada harmonisasi standar pelaporan ESG agar tercipta kejelasan dan kepercayaan investor.
Bank DBS menegaskan, kolaborasi lintas sektor akan menentukan kecepatan adopsi pembiayaan berkelanjutan di kawasan ini.
CEO Bank DBS Indonesia, Lim Chu Chong, menekankan bahwa transformasi menuju ekonomi hijau membutuhkan keseimbangan antara inovasi, kebijakan, dan edukasi publik.
âKeuangan berkelanjutan bukan sekadar tren, tetapi bagian dari tanggung jawab kolektif. Dengan kolaborasi lintas sektor, kita bisa memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,â ujarnya.
Menurut Lim, Indonesia memiliki posisi strategis dalam ekosistem keuangan hijau Asia karena potensi alam dan demografi yang mendukung. Oleh sebab itu, ia menilai pentingnya dukungan kebijakan fiskal dan insentif pajak bagi industri yang beralih ke energi bersih.
Ke depan, Bank DBS berkomitmen memperkuat perannya sebagai katalis dalam mendukung ekosistem investasi hijau di Indonesia dan Asia Tenggara, sejalan dengan target net zero emission 2050.



